Keguguran merupakan pengalaman yang sangat tidak mengenakkan bagi kaum wanita yng mendambakan buah hati. Keguguran bisa menjadi trauma mendalam dalam kehidupannya.
Ancaman keguguran terjadi jika selama 20 minggu pertama kehamilan terjadi perdarahan dan mulut rahim (cervix) dalam kondisi tertutup. Wanita usia di atas 35 tahun, wanita dengan riwayat keguguran spontan 3 kali atau lebih dan wanita dengan penyakit sistemik (contoh diabetes mellitus atau disfungsi tiroid) merupakan populasi risiko tinggi ancaman keguguran. Gejala klinis biasanya berupa kram perut dengan atau tanpa perdarahan pervaginam, atau perdarahan pervaginam selama 20 minggu pertama kehamilan. Keadaan tersebut harus dibedakan dengan kehamilan ektopik, kehamilan mola (hamil anggur) atau kehamilan dengan lesi lokal, polip, karsinoma atau ruptur varises vagina.
Keguguran memiliki faktor etiologi multipel, yaitu kromosom, hormon, biokimia, endometrium, faktor imunologis, faktor anatomis dan faktor trombosis.
Ngomong-ngomong masalah hormon nih...hormon progesteron memiliki peran penting dalam melindungi embrio alogenik dari rejeksi imunologis. Progesteron tidak hanya penting untuk konsepsi dan implantasi, tetapi juga sepanjang kehamilan sampai bayi cukup bulan.
Progesteron juga menstimulasi produksi faktor penyekat yang diinduksi oleh progesteron (progesterone-induced blocking factor/PIBF). Penurunan kadar IBF merupakan faktor risiko terjadinya keguguran.
Kadar progesteron dalam plasma dapat digunakan untuk meramalkan luaran kehamilan, di mana kadar progesteron yang rendah menunjukkan lebih tingginya peluang terjadi keguguran spontan. Kadar kritis terendah progesteron serum untuk kelangsungan kehamilan adalah 10 ng/ml. Delapan puluh persen pasien yang mengalami abortus atau keguguran didapatkan kadar progesteron kurang dari 10 ng/ml.
Pada penelitian El Zibdeh dan kawan-kawan pada tahun 2009, sejumlah 146 wanita hamiltrimester pertama dengan keluhan perdarahan per vaginam ringan atau sedang, secara acak mendapatkan didrogesteron oral 10 mg 2 kali sehari atau tidak mendapatkan pengobatan. Pemberian didrogesteron dilanjutkan sampai 1 minggu setelah perdarahan berhenti. Kejadian keguguran lebih rendah secara bermakna pada kelompok didrogesteron dibandingkan kelompok kontrol. Namun tidak ada perbedaan bermakna dalam hal komplikasi maupun kelainan kongenital. (Didrogesteron merupakan sintetis progesteron)